Jima’ (berhubungan badan dengan pasangan hidup) termasuk urusan kehidupan yang mendapat perhatian pula dari ajaran agama. Islam mensyariatkan beberapa adab dan sejumlah hukum dalam jima’ yang mengantarkan umat Islam menuju tujuan-tujuan mulia dan adab-adab yang luhur, sehingga jauh dari keserupaan dengan kehidupan bangsa binatang.
Adab Berhubungan Badan
- Berniat memperoleh pahala dari Allah عزوجل dan menjaga kehormatan pribadi dan pasangan.
- Memulai dengan cumbuan.
- Membaca doa
Dari Ibnu ‘Abbas رضي الله عنه, ia berkata bahwa Rasûlullâh ﷺ bersabda, “Bila salah seorang kalian ketika mendatangi istrinya mengucapkan
باسْمِ اللَّهِ، اللَّهُمَّ جَنِّبْنَا الشَّيْطَانَ، وَجَنِّبِ الشَّيْطَانَ مَا رَزَقْتَنَا
(Bismillah. Ya, Allah, jauhkan kami dari syaithan, dan jauhkan syaithan dari keturunan yang Engkau berikan kepada kami). Bila dikarunikan anak untuk mereka berdua, maka syetan tidak dapat mencelakakan si anak. (HR. Bukhari no. 6388 dan Muslim no. 1434).
- Tidak lah tidur orang yang berjunub kecuali dalam keadaan berwudhu.
Dari ‘Aisyah رضي الله عنها, ia berkata;
كَانَ النَّبِيُّ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَنَامَ وَهُوَ جُنُبٌ غَسَلَ فَرْجَهُ وَتَوَضَّأَ وُضُوْءَهُ لِلصَّلَاةِ
Dahulu Nabi ﷺ bila hendak tidur saat masih junub, beliau membasuh kemaluannya dan berwudhu layaknya untuk shalat.” (HR. Al-Bukhâri no.288 dan Muslim no.305)
- Dilarang mencampuri istri melalui dubur atau melalui qubul saat menstruasi dan nifas.
Allâh k berfirman:
وَيَسْـَٔلُوْنَكَ عَنِ الْمَحِيْضِ ۗ قُلْ هُوَ اَذًىۙ فَاعْتَزِلُوا النِّسَاۤءَ فِى الْمَحِيْضِۙ وَلَا تَقْرَبُوْهُنَّ حَتّٰى يَطْهُرْنَ ۚ فَاِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوْهُنَّ مِنْ حَيْثُ اَمَرَكُمُ اللّٰهُ ۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ التَّوَّابِيْنَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِيْنَ
“Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah, “Haidh itu adalah kotoran. Oleh sebab itu, hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh, dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperitahkan Allâh kepadamu. Sesungguhnya Allâh menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri”. (QS. Al-Baqarah/2:222)
Ibnu ‘Abbâs z meriwayatkan, “Umar bin Khaththâb رضي الله عنه datang kepada Rasûlullâh ﷺ , kemudian berkata, “Wahai Rasûlullâh, aku telah binasa!”. Beliau ﷺ bertanya, “Apakah yang membinasakanmu?”. Umar menjawab, “Semalam, aku campuri istriku dari arah punggungnya”. Akan tetapi, Nabi ﷺ tidak menjawab pertanyaannya sedikit pun. Lalu turunlah wahyu kepada beliau berupa ayat ini:
نِسَاۤؤُكُمْ حَرْثٌ لَّكُمْ ۖ فَأْتُوْا حَرْثَكُمْ اَنّٰى شِئْتُمْ ۖ
“Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki” (QS. Al-Baqarah/2:223).
Kemudian Beliau ﷺ bersabda: “Campurilah dari arah depan, campurilah dari arah belakang, dan hindari dubur dan masa haidh”. 1
- Dilarang menyebarkan rahasia hubungan intim
Diharamkan atas suami-istri untuk menyebarluaskan rahasia yang terkait dengan hubungan badan. Dari Asma binti Yazid x, Rasulullah ﷺ bersabda,
فَلَا تَفْعَلُوْا فَإِنَّمَا ذَلِكَ مَثَلُ الشَّيْطَانِ لَقِيَ شَيْطَانَةً فِيْ طَرِيْقٍ فَغَشِيَهَا وَالنَّاسُ يَنْظُرُوْنَ
“Janganlah kalian melakukan(nya). Itu mirip dengan syaithan bertemu dengan syaithan perempuan kemudian menggaulinya, sementara orang-orang melihat mereka berdua”. 2
- Berbicara saat hubungan intim tidak makruh
Disebutkan dalam ar-Raudhah an-Nadiyyah, “Adapun pembicaraan saat jima’, sebagian Ulama berpandangan makruhnya bicara saat jima’ dengan dalil qiyas makruhnya bicara saat buang hajat. Bila dianggap keduanya ada unsur khabits (buruk), maka itu batil. Sebab, saat berhubungan intim terjadi merupaka keadaan yang menyenangkan, bukan keadaan yang menjijikkan. Dan obrolan ketika jima’ termasuk bentuk interaksi yang baik, bahkan ada unsur kenikmatan secara zahir. Apalagi, Nabi ﷺ telah menggariskan cumbuan (ketika akan mencampuri istri), maka saat terjadi hubungan intim hukumnya lebih diperbolehkan lagi”.
- Berwudhu ketika akan mengulang hubungan intim dengan istri, namun mandi lebih utama
Nabi ﷺ bersabda:
إِذَا أَتَى أَحَدُكُمْ أَهْلَهُ ثُمَّ أَرَادَ أَنْ يَعُوْدَ فَلْيَتَوَضَّأْ
Jika salah seorang dari kalian ingin mencampuri istrinya, kemudian ia ingin kembali melakukannya, hendaknya ia berwudhu. “ 3
Dalam riwayat lain, Beliau ﷺ bersabda:
فَإِنَّهُ أَنْشَطُ فِيْ العَوْدِ
“Sesungguhnya itu akan lebih menyegarkan untuk mengulang (hubungan intim) lagi”.
Sedangkan dalil yang menunjukkan mandi lebih utama adalah hadits Abu Rafi ’, ‘Bahwa sesungguhnya suatu hari, Nabi ﷺ menggilir istri-istrinya. Beliau ﷺ mandi setelah dari istri ini dan istri itu. Aku bertanya kepada Beliau, “Wahai Rasûlullâh, mengapa tidak engkau jadikan satu kali mandi saja?”. Beliau ﷺ menjawab, “Ini lebih suci, lebih baik dan lebih bersih”. 4
Sumber:
- Al-Mausû’ah al-Fiqhiyyah al-Muyassarah fii Fiqhil Kitabi was Sunnatil Muthahharah. Husain bin ‘Audah al-Awayisyah. Dar Ibnu Hazm, Cet. I, Th.1425H. 1 HR. An-Nasai dan at-Tirmidzi.
- HR. Ahmad. Hadits hasan.
- HR. Muslim no.308.
- HR. Abu Dawud dan An-Nasai.
Sya’ban 1438 H / Mei 2017 M